Mengapa media gagal meliput Papua?
(Translation to follow)
Dalam
sejarah jurnalisme, sangat sulit menemukan jurnalis yang fokus menulis Papua,
apalagi jurnalis asal Indonesia.
Saya
mencatat hanya dua orang jurnalis yang melaporkan Papua dengan sangat detail.
Pertama adalah mantan editor investigasi saya di Majalah Tempo, Wahyu
Dhyatmika, yang meliput tentang hutan adat. Kedua adalah Michael Bachelard, wartawan Fairfax
Mediayang menulis tentang Islamisasi anak-anak Papua. Michael bahkan bukan
orang Indonesia, tapi saya bisa memasukkannya dalam kategori produk jurnalisme
tentang Indonesia.
Untuk
wartawan di Papua, saya menyebut dua nama penting yang merupakan pelopor, yakni
Victor Mambor dari Tabloid Jubi dan almarhum Oktovianus Pogau dari Suara Papua.
Yang dua terakhir sudah teruji konsistensinya menyuarakan suara warga Papua.
Lalu ke
mana wartawan lainnya? Saya tidak bisa mengingkari bahwa ada yang salah memang
dengan jurnalis kita (terutama di Jakarta), karena sedikit dari mereka yang
mengetahui bahwa sebenarnya Papua adalah tajuk utama, terutama dalam hal hak
asasi manusia. Karena hanya di Papua militer masih melakukan operasi aktif
seperti dalam kondisi perang dan pelanggaran HAM terus terjadi, setiap pekan.
Entah
karena minat wartawan terhadap isu Papua yang kurang atau ruang redaksi di
Jakarta masih setengah hati memberitakan provinsi paling timur di Indonesia
ini.
Model
produk berita tentang Papua antara lain: tentang penembakan. Pada umumnya,
dalam tulisan itu digambarkan prajurit TNI atau polisi sedang membasmi kelompok
separatis yang menginginkan Papua merdeka. Lalu dengan gagahnya, aparat
berhasil menembaki anggota Organisasi Papua Merdeka. Tentu saja, ada anggota
TNI/Polisi yang menjadi korban. Mereka disebut pahlawan karena telah
mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata
kuncinya adalah: separatis, kedaulatan, NKRI.
Saya
termasuk dari jurnalis yang pernah menulis demikian, tentu saja karena ketidaktahuan
saya. Namun ketika saya melakukan riset, banyak sumber alternatif yang
disajikan. Sebuah narasi lain, yang beda dari narasi tunggal yang pernah
didoktrinkan kepada saya oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto di sekolah.
Di
sekolah, dan mungkin sampai sekarang, saya diajarkan tentang sejarah Papua
versi Orde Baru. Antara lain tentang Operasi Trikora yang digagas oleh Presiden
Soekarno dengan menugaskan Mayor Jenderal Soeharto
sebagai panglima. Operasi itu merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Akhirnya
militer Indonesia menang dan Soeharto jadi “pahlawan”. Papua pun masuk wilayah
kedaulatan “NKRI harga mati”.
Begitulah
sejarah ditulis di buku-buku sekolah dan tidak diubah hingga hari ini.
Sayangnya
kami sebagai wartawan tak banyak mencari tahu, apakah benar sejarah Trikor
sedemikian lurusnya, tanpa kesalahan?
Saya
mengelaborasi fenomena jurnalis kita ini dengan tiga kata kunci tadi:
separatis, kedaulatan, dan NKRI harga mati.
Separatis
Kesalahan
mendasar dari jurnalis yang meliput dari Papua adalah mereka hanya mengutip
dari satu sumber yakni aparat, dengan alasan bahwa sumber orang Papua atau OPM
sulit dihubungi. Maka dengan semena-mena kita mengutip omongan aparat yang
menyebut kelompok bersenjata pro kemerdekaan OPM sebagai separatis.
Apakah
separatis itu?
Prinsip
dari separatisme adalah, sebelumnya mereka sudah jadi bagian dari sebuah
kesatuan. Tapi dalam kasus Papua, tidak demikian. Sebuah dokumen telegram AS
yang baru saja diterbitkan oleh kantor berita AP dan ditulis
korespondennya Stephen Wright dapat menjelaskannya.
Laporan eksklusif itu memuat informasi mengenai Papua, yang merupakan bagian
barat pulau raksasa Papua Nugini, tetap berada di tangan Belanda setelah
Indonesia lepas dari pemerintahan kolonial Belanda pada akhir Perang Dunia II.
Kemudian,
Pemerintah Indonesia memberi mandat pada Mayor Jenderal Soeharto untuk
melaksanakan operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk mengusir Belanda dan
menguasai tanah Papua pada 1961. Namun dalam hal ini, pemerintah selalu
menggunakan “merebut” tanah Papua. Kata merebut sering dilekatkan pada
kepemilikan, itu berarti bahwa pihak tertentu telah mencuri dari Indonesia. Padahal,
Papua tidak pernah jadi bagian dari Indonesia. Papua tidak pernah masuk peta
NKRI saat negara ini mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945.
Artikel
itu juga menyebut, “banyak orang Indonesia melihat kampanye pemerintah mereka
di awal 1960-an untuk mencaplok Papua Barat dari Belanda sebagai kemenangan
terakhir dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Tapi bagi orang Papua, dengan
budaya Melanesia dan sejarah yang berbeda dari Asia Tenggara, Indonesia adalah
penjajah yang dimusuhi.”
Fakta
bahwa Papua tak pernah menjadi bagian dan tak pernah dengan sukarela bergabung
dengan Indonesia, menjadikan kata separatis tidak cocok digunakan dalam setiap
pemberitaan tentang OPM. Dasar yang selalu dipakai pemerintah Indonesia
adalah Act of Free Choice atau
referendum PEPERA pada 1969 di mana hanya kurang lebih 1.000 orang
tetua dipaksa untuk memberikan suaranya.
Separatis
dapat digunakan pada kelompok perjuangan dari wilayah yang mendeklarasikan
kemerdekaan bersama Indonesia pada 1945, tentunya dengan sukarela, tanpa ada
invasi militer atau kecurangan dalam referendum. Saya menduga penggunaan kata
separatis dibumikan sebagai bahasa politik pemerintah NKRI yang ingin menutupi
sejarah gelap bergabungnya Papua ke Indonesia. Akan lebih tepat, jika jurnalis
menghindari untuk memakai kata ini, karena media sebaiknya tidak menjadi alat
propaganda penguasa.
Kasus
separatis ini bisa saya jajarkan dengan penggunaan kata teroris di media-media
Amerika. Penggunaannya juga sama gagapnya. Yakni kata teroris dilekatkan kuat
pada Muslim. Padahal dalam kenyataannya, terorisme tidak memandang agama atau
suku. Kritik tentang penggunaan terorisme ini disebut cukup politis. Terkadang
juga dipakai sebagai alat propaganda yang meningkatkan Islamofobia.
Ahli
jurnalisme, Philip Seib, mengkritisi ihwal pemakaian kata ini.
Sejumlah ulasan juga menyebut ada bias yang
luar biasa dalam pemakaian kata terorisme ini. Dan ini terjadi secara sistemis.
Hal yang sama terjadi pada penggunaan kata separatis di media di Indonesia.
Kedaulatan & NKRI harga
mati
Dalam
setiap sidang umum PBB, Indonesia selalu dengan gagah menyodorkan diplomat
mudanya untuk berbicara tentang kedaulatan negara di tanah Papua. Mereka selalu
menyebutnya dengan “serangan diplomatik” pada kedaulatan NKRI.
Pada 24
September 2016, sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-71 digelar di
Markas PBB New York. Sebanyak enam pemimpin negara kawasan Pasifik, yakni
Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai, Perdana Menteri Kepulauan Solomon
Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva, Presiden Nauru Baron
Waqa, Presiden Kepulauan Marshall Hilda Heine dan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga
mengajukan pernyataan yang tentang pelanggaran HAM di Papua.
Alih-alih
menjawab tudingan mengenai dugaan pelanggaran HAM, yang sampai saat ini tak
pernah dituntaskan secara hukum, Indonesia berulang-ulang sibuk menuding negara
kawasan Pasifik ini mengusik “kedaulatan” NKRI.
Media-media
di Indonesia pun tak kalah sibuk memotret peristiwa ini dengan bahasa-bahasa
yang tak seharusnya muncul di berita. Seperti kantor berita Antara yang mengatakan bahwa
diplomat muda Indonesia seakan-akan dikeroyok oleh enam pemimpin negara. Antara
kemudian menggambarkan sang diplomat itu sebagai “pahlawan” kedaulatan. Kantor
berita Tribun lebih parah lagi, ia menyemat kata cantik untuk sang diplomat
sebagai pujian karena telah “berhasil menghajar” enam kepala negara di
forum itu.
Sebagai
jurnalis, saya dapat memastikan bahwa terjadi framing berita
Papua di sidang Umum PBB tersebut oleh media-media Indonesia. Framing
yang sebenarnya mengaburkan hal utama yang harus dijawab diplomat muda
Indonesia itu: Pelanggaran HAM di Papua.
Bahwa ada
sebuah peristiwa yaitu hilangnya ribuan mungkin jutaan warga Papua karena
operasi militer. Saya sebut yang paling saya pahami adalah peristiwa Paniai.
Ribuan masyarakat Paniai ditangkap dengan semena-mena oleh pasukan militer
selama beberapa tahun, dengan alasan “menyelamatkan kedaulatan nasional”.
Beberapa yang ditangkap tidak pernah ditemukan lagi. Masyarakat Paniai menyebut
daerahnya sebagai “tempat yang tragis dan terlupakan”. Belum lagi kasus Wamena
berdarah (2003) yang, penyerbuan warga di Wasior (2001), dan terbunuhnya
anak-anak di Paniai pada 2014.
Seharusnya
media tidak melakukan framing atau gagap dalam memberitakan aksi
diplomat ini, alih-alih menyematkan kata cantik, media seharusnya menyematkan
pertanyaan besar: apakah kedaulatan nasional yang kita banggakan itu dibangun
di atas darah ribuan orang Papua yang ditangkap dan hilang entah ke mana?
Tentang
bahasan NKRI harga mati, sudah banyak contoh bagaimana negara-negara di luar
sana rusak karena jargon nasionalisme mereka sendiri. Tak perlu jauh-jauh:
tengoklah Myanmar yang tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari identitas
nasional mereka. Akhirnya jutaan warga Rohingya dipersekusi.
Begitu
juga dengan Indonesia, sudah banyak warga kita yang didiskriminasi karena
identitas nasional ini. Apalagi identitas nasional ini sering digunakan sebagai
alat politik untuk menyingkirkan dan mendiskriminasi warga Indonesia yang
dianggap “tidak ideal” atau tidak masuk kategori mayoritas: ultranasionalis,
moderat, dan relijius. Seperti Syiah, Ahmadiyah, kelompok Tionghoa yang mengalami
persekusi tiap pergantian pemimpin di Indonesia, bahkan tiap pemilihan umum
digelar.
Bagaimana
kita sebaiknya memandang identitas nasional “NKRI harga mati” ini terhadap
kasus Papua? Seorang jurnalis tidak bekerja untuk negara dan tidak menjadi agen
kampanye identitas nasional mana pun. Ia bekerja untuk mencari fakta di
lapangan, mengungkap apa yang tidak diungkap di publik, menyajikan pemberitaan
yang tidak melanggar nilai-nilai kode etik jurnalistik yang setia pada akurasi
dan kebenaran yang fungsional.
Ini
berlaku baik untuk jurnalis lokal yang sudah dicekoki soal NKRI sejak duduk di
kelas SD dan jurnalis asing seperti Amerika yang perusahaan asal negaranya,
Freeport McMoRan, kerap disebut diuntungkan secara bisnis karena “penjajahan”
Indonesia di tanah Papua. Keduanya seharusnya tidak terikat dengan “identitas
nasional” tapi identitas sebagai jurnalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Seperti
kata Bill Kovach, yang diulas oleh Andreas Harsono, elemen jurnalisme menyebut
kita harus disiplin verifikasi dan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang
keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi
inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Kita
seharusnya skeptis ketika “NKRI harga mati” dipakai untuk menyudutkan
orang-orang Papua yang ingin menyuarakan pelanggaran HAM di tanahnya. Bahwa
mungkin saja “NKRI harga mati” hanyalah ingatan kita yang keliru dari pelajaran
sekolah yang kita dapatkan di zaman Orde Baru atau alat propaganda itu tadi.
Dapatkan fakta dulu baru
menulis
Menyadari
bahwa masih banyak wartawan yang gagap menulis tentang Papua, maka modal
pertama adalah belajar tentang sejarah Papua. Banyak sumber yang bisa menjadi alternatif
bacaan untuk belajar tentang sejarah Papua. Laporan-laporan Human Rights Watch misalnya.
Pastikan Anda mendapat fakta yang benar tentang Papua.
Dari
pembelajaran sejarah ini, wartawan diharapkan untuk memberikan latar belakang
di setiap tulisannya tentang Papua, sehingga pembaca mendapatkan konteks dari
apa yang sedang terjadi di sana.
Modal
kedua, tetap skeptis ketika aparat memberikan informasi tentang “gerakan
separatis”. Yang terjadi saat itu, media di Indonesia tampak malas mencari
narasumber tambahan. Mereka hanya mengikut aparat. Ketika mereka membantu
mencarikan akses kepada narasumber, pembatasan oleh ruang redaksi malah
diberlakukan.
Veronika
Koman, pengacara HAM yang fokus pada isu Papua, menuturkan pengalamannya saat
mengadvokasi krisis Tembagapura terkait dugaan adanya penyanderaan di Timika
dekat tambang Freeport McMoRan baru-baru ini oleh TPN-OPM.
Ia
menuturkan, ketika itu laporan media Indonesia yang bias tak terbendung. Di
tengah situasi sulit itu, ada harapan, ketika kru TV dari Jakarta datang ke
Timika. “Saya tahu bahwa ada kru TV asal Jakarta datang ke Timika, saya senang.
Saya pikir akhirnya mereka akan membawa terang pada apa yang terjadi di
Tembagapura,” katanya kepada saya.
Vero
menghubungi beberapa media TV dan membantu mereka mencari akses kepada kelompok
Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Kedua media
tersebut mewawancarai TPN melalui telepon.
Awalnya
wartawan TV itu bersemangat, tapi kemudian ia menunjukan perubahan emosi
setelah mendapat telepon dari Jakarta. Hasilnya, “Wawancara tersebut tidak
pernah disiarkan”. Semua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua Barat
kemudian membuat sebuah pernyataan bersama yang mengecam media nasional
mengenai pelaporan yang bias.
Juru
bicara koalisi ini yang juga seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di
Papua Barat, Anum Siregar, mengatakan kepada Vero bahwa seorang wartawan
mengeluh mengapa mereka diprotes. Wartawan tersebut mengatakan kepadanya bahwa
dia tidak bisa mengendalikan apapun. Jakarta tidak mau—atau takut—untuk
menerbitkan versi TPN. “Mereka tidak ingin memberikan panggung apapun kepada
OPM”, kata Vero.
Padahal,
katanya, ini adalah pekerjaan jurnalis untuk melaporkan berita mengutip dari
kedua belah pihak.
Selain
itu, masalah lainnya adalah batasan dari pihak aparat sendiri. “Mereka
(jurnalis) tidak pernah diizinkan pergi ke desa Banti, mereka berhenti di
Tembagapura. Banti adalah desa tempat kejadian berlangsung.”
Apa
akibatnya? “Kesalahan media nasional selama krisis Tembagapura dapat dengan
mudah mengubah situasi ‘tidak terlalu penting’ menjadi pertumpahan darah.
Setiap media tampaknya mengeluarkan berita secepat mungkin, mencari kliknya.
Mereka tidak menyadari bahwa kehidupan penduduk desa dipertaruhkan, mengingat
rekam jejak pasukan keamanan di Papua Barat.” kata Vero.
Sementara
itu tim Fairfax Media Jakarta yang diampu oleh Jewel Topsfield mengambil
langkah berbeda. Kita dapat belajar dari teknik mereka melaporkan situasi
dugaan penyanderaan ini. Ketika konflik antara TPN-OPM dan aparat pecah di
Timika, tim Fairfax mengirim stringer-nya untuk mengecek ke lapangan,
apakah benar terjadi penyanderaan. Semua hasil liputan di lapangan menunjukkan
tidak ada warga sipil yang jadi korban. Mereka juga membuat sebuah artikel
khusus tentang hilangnya karyawan Freeport Martinus Benal yang diklaim aparat
telah ditembak oleh kelompok OPM dan diserahkan pada keluarga lalu dikubur.
Tapi keluarga membantah bahwa mereka telah menerima jasad anggota keluarganya
yang malang itu.
Belajar
dari kasus Timika, pada akhirnya, kata Vero, “”Peran jurnalis di daerah konflik
sangatlah penting sekaligus rapuh. Jurnalisme bisa menyelamatkan nyawa, atau
justru menghilangkan nyawa”.
Modal
ketiga, menghindari menggunakan istilah-istilah yang bias seperti yang telah
dibahas di atas. Dasarnya sudah jelas, bahasa tersebut adalah warisan penguasa
Orde Baru.
Yang
paling penting juga bagi wartawan adalah tidak main mata dengan pihak-pihak
yang disebut sebagai bagian dari pelanggaran HAM ini. Misal menjadi “mitra”
aparat dalam memberitakan “keberhasilan” aparat menumpas “separatis”.
Sekali
lagi, pekerjaan rumah wartawan untuk memberitakan Papua adalah bagian dari
kepingan sejarah yang akan dicatat oleh tinta emas. Suatu hari nanti kebenaran
tentang apa yang terjadi di Papua akan tersaji dalam puzzle yang lebih lengkap.
Kita hanya butuh menyusunnya, satu per satu, dan mungkin membutuhkan waktu
lebih dari satu dekade. Hanya dengan kualitas jurnalisme yang patuh terhadap
kode etik, jurnalisme mampu memberikan sumbangsihnya untuk kemanusiaan,
terutama di Papua. Karena tujuan jurnalis hanya satu: menyampaikan kebenaran.
Febriana Firdaus adalah
jurnalis lepas yang aktif menulis tentang HAM. Ia juga editor di Ingat65
dan Nawala Suara Papua yang terbit tiap bulan
Why did the media fail to cover Papua?
ReplyDeleteIn the history of journalism, it is very difficult to find journalists who focus on writing Papua, let alone journalists from Indonesia.
I noted only two journalists who reported Papua in great detail. First is my former investigative editor at Tempo Magazine, Wahyu Dhyatmika, which covers customary forests. Second is Michael Bachelard, a journalist of Fairfax Media who writes about the Islamization of Papuan children. Michael is not even an Indonesian, but I can include it in the category of journalism products about Indonesia.
For journalists in Papua, I mention two important names that are the pioneers, namely Victor Mambor of Tabloid Jubi and the late Oktovianus Pogau from the Voice of Papua. The last two have been tested consistency voice voice of the people of Papua.
Then where are the other journalists? I can not deny that something is wrong with our journalists (especially in Jakarta), because few of them know that Papua is actually a major editorial, especially in terms of human rights. Because only in Papua the military still conducts active operations as in conditions of war and human rights violations continue to occur, every week.
Whether because the interest of journalists on the issue of Papua is lacking or editorial space in Jakarta is still halfhearted to preach this easternmost province in Indonesia.
News product models about Papua include: about shooting. In general, in the article depicted TNI soldiers or police are exterminating separatist groups who want an independent Papua. Then with great courage, the officers managed to shoot members of the Free Papua Organization. Of course, there are members of the TNI / Police who are victims. They are called heroes for maintaining the sovereignty of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI).
The key words are: separatist, sovereignty, NKRI.
I belong to a journalist who has written so, of course, because of my ignorance. But when I do research, many alternative sources are presented. Another narrative, different from the single narrative that was ever etched to me by Soeharto's New Order government at school.
At school, and perhaps until now, I was taught about New Order's version of Papua history. Among others is about Operation Trikora initiated by President Sukarno by assigning Major General Soeharto as commander. The operation planned, prepared, and organized military operations to combine western Papua with Indonesia.
Finally the Indonesian military won and Soeharto became a "hero". Papua also entered the territory of sovereignty "NKRI price die".
That's how history is written in schoolbooks and has not been altered to this day.
Unfortunately we as journalists did not much to find out, is Trikor's history true so straight, without error?
I elaborate the phenomenon of our journalist with these three keywords: separatist, sovereignty, and NKRI price die.
Separatist
The fundamental mistake of journalists covering from Papua is that they only quote from one source - the apparatus,