Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua
(English Language Version here also)
Asia Report N°232 9 Aug 2012
RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI
Serangkaian kekerasan yang terjadi di Papua selama bulan Mei
dan Juni 2012 telah mengungkap ketiadaan strategi pemerintah yang koheren dalam
menangani konflik multidimensi ini. Peristiwa penembakan terhadap warga non-
Papua di Jayapura pada bulan Juni yang kemungkinan melibatkan para militan
pro-kemerdekaan, yang kemudian disusul oleh kematian salah seorang militan
tersebut di tangan polisi, menyingkap dimensi politik dari masalah ini. Di
Wamena, aksi sejumlah tentara yang mengamuk setelah kematian rekan mereka
memperlihatkan dalamnya rasa saling tidak percaya antara masyarakat lokal dan
Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan tidak adanya mekanisme dalam
menanggulangi krisis. Kekerasan yang terkait dengan sumber kekayaan alam Papua
terkuak dalam peristiwa penembakan di wilayah pertambangan emas terpencil
Paniai . Sementara kejadian-kejadian ini masih dalam investigasi, mereka
memberi indikasi bahwa apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak
dapat menangani aspek-aspek yang sangat berbeda dalam masalah keamanan di Papua
ini, keadaan mungkin bisa menjadi lebih buruk. Salahsatu solusi yang mungkin
bisa menolong adalah perombakan kebijakan keamanan.
Ada dua faktor yang mendorong sebagian dari kekerasan di
Papua belakangan ini. Pertama, berbagai ketidakpuasan yang dirasakan oleh
masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Kedua, beberapa aspek dari
kebijakan keamanan yang kelihatannya bertentangan dengan niat pemerintah untuk
membangun kepercayaan, mempercepat pembangunan dan merealisasikan tujuan dari
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Propinsi Papua.
Hingga hari ini, UU Otsus belum menghasilkan manfaat yang nyata bagi kehidupan
sebagian besar masyarakat dan belum juga memperbaiki hubungan antara Papua
dengan pemerintah pusat. Substansinya selama ini kerap diperlemah oleh Jakarta,
meskipun para anggota DPRD Papua juga bertanggungjawab karena gagal menetapkan
peraturan-peraturan pelaksana yang diperlukan.
Jika Papua punya institusi politik yang efektif sekalipun,
masalah-masalah ini sudah cukup sulit untuk dikelola. Realitanya, pemerintah
maupun DPRD di tingkat propinsi dan kabupaten di Papua nyaris tidak berfungsi.
Seorang pejabat gubernur telah ditunjuk bulan Juli 2011 namun
ketidakefektifannya telah membawa pemerintah propinsi Papua ke dalam keadaan
tidak menentu. Sementara, penyelenggaraan pilkada terhambat oleh DPRD Papua
yang telah memfokuskan hampir dari seluruh energinya untuk menghalangi gubernur
petahana untuk maju dan merebut kontrol KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah)
terhadap beberapa bagian dalam proses pilkada melalui jalur hukum. Keadaan juga
suram di tingkat kabupaten. Situasi ini membuat pemerintah pusat tak punya
mitra yang aktif di Papua dan rakyat Papua tak punya saluran resmi untuk
menyampaikan kekhawatiran mereka ke Jakarta.
Peran dari sebuah badan baru bernama Unit Percepatan
Pembangunan Di Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk bulan September 2011,
semakin lama kelihatannya hanya terbatas menangani urusan ekonomi, dimana unit
ini akan mengalami kesulitan memperlihatkan kemajuan yang nyata dalam jangka
pendek. Harapan bahwa UP4B mungkin bisa memainkan peran politik di belakang
layar dalam mendorong dialog antara rakyat Papua dan pemerintah pusat atau
tentang kesusahan di Papua pun semakin memudar, karena kini menjadi semakin
jelas bahwa dialog memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.
Upaya-upaya untuk membangun sebuah konsensus tentang dialog telah mengalami
kemunduran akibat kekerasan yang terjadi, karena pemerintah enggan untuk
mengambil langkah apapun yang bisa dilihat sebagai konsesi politik di bawah
tekanan – apalagi terhadap daerah sesensitif Papua.
Tantangannya buat pemerintah adalah untuk menemukan sebuah
strategi jangka pendek yang dapat mengurangi kekerasan sambil terus mencari
sebuah kebijakan yang akan membawa manfaat-manfaat sosial, ekonomi dan politik
jangka panjang dan menangani ketidakpuasan yang sudah lama dirasakan. Strategi
tersebut harus melibatkan perubahan-perubahan yang jelas dan nyata dalam
pengawasan, kontrol dan akuntabilitas terhadap polisi dan TNI. Tentu, aparat
keamanan bukan satu-satunya masalah. Polisi dan tentara juga tidak selalu
menjadi pelaku kekerasan; banyak dari mereka juga telah menjadi korban. Tapi
mereka telah menjadi simbol atas segala sesuatu yang salah dengan penanganan
Jakarta terhadap konflik Papua. Oleh karena itu, sebuah perubahan dalam
kebijakan keamanan menyodorkan harapan paling baik bagi sebuah “quick win” yang
dapat memperbaiki dinamika politik dan menghentikan Papua merosot ke arah
kekerasan lebih lanjut.
REKOMENDASI-REKOMENDASI
Kepada Pemerintah Indonesia:
1. Mengembangkan sebuah mekanisme pembuatan kebijakan
yang lebih terintegrasi mengenai Papua di tingkat nasional dan propinsi untuk
menjamin bahwa:
a) Program-program yang dirancang untuk memberikan
manfaat-manfaat konkrit bagi rakyat Papua dan membangun kepercayaan tidak
diperlemah secara tidak sengaja oleh keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan
yang diambil dalam Kementerian Dalam Negeri atau oleh badan intelijen dan
keamanan;
b) Sebuah mekanisme pelaporan keamanan yang lebih terpadu
dibentuk dibawah Kapolda Papua untuk menjamin bahwa unsur-unsur aparat TNI dan
intel tidak melakukan operasi yang hanya dilaporkan ke Jakarta dan tidak
dikoordinasikan dengan instansi lain di Papua.
c) Program-program pengawasan yang ketat tidak hanya
terbatas di bidang pembangunan tapi juga mencakup kebijakan keamanan, termasuk
audit yang rutin dan independen terhadap penghasilan TNI dan Polri dari
kegiatan mereka di Papua.
d) Perspektif rakyat Papua diikutsertakan lewat partisipasi
gubernur terpilih atau ketua MRP.
Kepada Kepolisian Republik Indonesia
(Polri)
2. Meningkatkan sosialisasi dan pelatihan mengenai
Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak
Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian, dengan perhatian khusus
pada:
a) Pasal 10(e) tidak boleh mentolerir tindakan penyiksaan
dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat manusia, bahkan dibawah perintah atasan sekalipun atau dalam keadaan
luar biasa;
b) Pasal 10 (f) menjamin kesehatan orang-orang yang berada
dalam tahanan dan segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis
bilamana diperlukan;
c) Pasal 10 (g) tidak boleh melakukan korupsi maupun
penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun;
d) Pasal 17 mengenai prosedur penangkapan;
e) Pasal 40 melarang anggota Polri untuk bertindak dengan
cara yang menimbulkan antipati masyarakat, termasuk dengan meminta imbalan
tidak resmi dan sengaja menutupi kesalahan pihak yang perkaranya sedang
ditangani;
f) Pasal 42-44 mengenai perlindungan HAM dalam kerusuhan
massal; dan
g) Pasal 45-49 mengenai penggunaan kekuatan/tindakan keras
dan senjata api, terutama ketentuan bahwa metode-metode tanpa kekerasan
(non-violent) harus diusahakan terlebih dahulu dan penggunaan kekuatan, senjata
atau alat dalam penerapan tindakan represi harus berimbang dengan ancaman yang
dihadapi.
3. Meninjau kembali kebijakan dalam penggunaan peluru
tajam dengan maksud untuk membatasi penggunaannya hanya pada situasi-situasi
tertentu dan menjamin bahwa perlengkapan non-lethal (yang tidak mematikan)
untuk menangani kerusuhan sipil dipasok secara memadai.
4. Menjamin bahwa polisi diperlengkapi secara penuh
dengan rompi anti-peluru dan perlengkapan pelindung diri lain ketika ditugaskan
ke wilayah-wilayah yang rawan atau ketika menghadapi kerusuhan sipil sehingga
mengurangi insentif untuk menembak lebih dulu.
5. Meninjau kembali kebutuhan pelatihan untuk menjamin
bahwa siapapun yang ditugaskan di kabupaten tertentu di Papua menerima briefing
(pengarahan) yang menyeluruh dan mendetil dari mereka yang pernah bertugas
disitu mengenai kondisi setempat, dinamika konflik dan hubungan dengan
pemerintah dan tokoh masyarakat setempat, dan bahwa siapapun yang baru selesai
bertugas di wilayah tertentu menjalani de-briefing (wawancara paska
tugas) yang juga menyeluruh sehingga pengetahuan dan pelajaran-pelajaran yang
didapat bisa diinstitusionalisasikan.
6. Merancang kembali struktur tunjangan dan insentif
sehingga polisi yang ditugaskan ke daerah-daerah sulit dan terpencil didorong
untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan masyarakat setempat.
Kepada TNI dan Polri:
7. Membuat komitmen yang tegas untuk mengakhiri
impunitas (kekebalan hukum) atas penggunaan kekuatan eksesif dan penyiksaan,
dan untuk menegakkan hukuman yang lebih kredibel terhadap yang bertanggungjawab
atas tindakan-tindakan seperti itu dengan cara yang kasat mata dan terpublikasi
sehingga rakyat Papua bisa melihat bahwa keadilan sedang ditegakkan.
8. Secara khusus menjamin bahwa ada kebijakan
zero-tolerance yang dimulai dari akademi-akademi militer dan polisi terhadap
tindakan penendangan, pemukulan dengan instrumen apapun termasuk popor senapan
atau tindakan penyiksaan dalam bentuk apapun dalam tahanan, interogasi atau
hukuman ditempat atas dugaan pelanggaran.
9. Menjelaskan secara tegas bahwa “emosi” tidak bisa
dipakai sebagai pembenaran untuk memakai kekuatan secara berlebihan, terutama
dalam bereaksi terhadap serangan oleh kelompok-kelompok Papua.
10. Melakukan pengawasan lebih sistematis terhadap
pemasukan dan pengeluaran di polres, polsek, kodim dan koramil, apalagi
yang dekat daerah penambangan, dengan tujuan mencegah pungutan liar terhadap
transportasi barang dan jasa.
Kepada Unit Percepatan Pembangunan
di Papua dan Papua Barat (UP4B):
11. Bekerja sama dengan pemerintah propinsi dan
kabupaten di Papua dan juga kementerian di tingkat nasional untuk
mengidentifikasi kesenjangan dalam pengimplementasian UU Otsus dan
mengembangkan strategi-strategi untuk menanganinya.
Kepada Komisi Pemilu (KPU):
12. Mengingat Mahkamah Konstitusi telah menyetujui
praktek pemungutan suara secara aklamasi dengan menggunakan sistem noken di
Papua, KPU hendaknya bekerja sama dengan KPUD Papua untuk mengembangkan pedoman
yang jelas yang akan menjamin penghitungan dan rekapitulasi suara setidaknya
mencapai standar minimum untuk mencegah kecurangan pemilu dan meningkatkan
upaya-upaya pendidikan pemilih yang sesuai.
Kepada DPRD Propinsi Papua dan
Gubernur Terpilih:
13. Memberi prioritas tertinggi untuk menetapkan
sekitar dua lusin peraturan yang diperlukan untuk menjamin otonomi khusus dapat
diimplementasikan secara penuh.
Jakarta/Brussels, 9 Agustus 2012
Indonesia: Dynamics of Violence in Papua
Asia
Report N°232 9 Aug 2012
EXECUTIVE SUMMARY AND RECOMMENDATIONSA spate of violence in Papua in May and June 2012 exposed the lack of a coherent government strategy to address this multidimensional conflict. Shootings of non-Papuans in the provincial capital Jayapura in June, likely involving pro-independence militants, were followed by the death of one of those militants at police hands, highlighting the political dimension of the problem. In Wamena, a rampage by soldiers after the death of a comrade shows the depth of distrust between local communities and the army, and the absence of mechanisms to deal with crises. The shooting of five Papuans by newly arrived members of a paramilitary police unit (Brigade Mobile, Brimob) in a remote gold-mining area of Paniai highlights the violence linked to Papua’s vast resource wealth and rent-seeking by the security apparatus with little oversight from Jakarta. While these events are still under investigation, they signal that unless the Yudhoyono government can address these very different aspects of the conflict, things may get worse. An overhaul of security policy would help.
Two factors are driving much of the violence: a wide range of Papuan grievances toward the Indonesian state and a security policy that seems to run directly counter to the government’s professed desire to build trust, accelerate development and ensure that a 2001 special autonomy law for Papua yields concrete benefits. To date the law has failed to produce either improvement in the lives of most Papuans or better relations with the central government. Its substance has been frequently undercut by Jakarta, although provincial lawmakers also bear responsibility for failing to enact key implementing regulations. One of the last measures to prompt accusations in Papua of Jakarta’s bad faith was the 2011 division into two of the Papuan People’s Council (Majelis Rakyat Papua, MRP), an institution set up under the law to safeguard Papuan values and culture that was supposed to be a single body, covering all of Papua. In many ways the MRP was the keystone of special autonomy but it has been plagued by problems since its much-delayed establishment; the division, with Jakarta’s active endorsement, has further reduced its effectiveness.
These problems would be hard enough to manage if Papua had functioning political institutions, but it does not. An ineffectual caretaker governor appointed in July 2011 has left the Papuan provincial government in limbo. Meanwhile, the organisation of a new election has been stymied by a provincial legislature that has focused most of its energy on blocking the former governor from running and vying in national courts with the local election commission for control over parts of the electoral process. The picture is just as grim at district level. This leaves the central government without an engaged partner in Papua, and Papuans without a formal channel for conveying concerns to Jakarta.
The role of a new policy unit – the Unit for Accelerated Development in Papua and West Papua, known by its Indonesian abbreviation of UP4B – established in September 2011, increasingly appears limited to economic affairs, where it will struggle to show visible progress in the short term. Hopes that it might play a behind-the-scenes political role in fostering dialogue on Papuan grievances are fading, as it becomes increasingly clear that dialogue means different things to different people. Efforts to hammer out some consensus on terms and objectives have been set back by the violence, as the government is reluctant to take any steps that might be perceived as making concessions under pressure.
The challenge for the government is to find a short-term strategy that can reduce violence while continuing to work out a policy that will bring long-term social, economic and political benefits and address longstanding grievances. That strategy must involve clear and visible changes in the administration, control and accountability of both the police and military. The security apparatus is not the only problem, nor are police and soldiers always the perpetrators of violence; many have been victims as well. But they have come to symbolise everything that has gone wrong with Jakarta’s handling of the Papuan conflict. It therefore follows that a change in security policy is the best hope for a “quick win” that can transform the political dynamics and halt the slide toward further violence.
RECOMMENDATIONS
To the Government of Indonesia:
1. Develop a more integrated policymaking mechanism on Papua at the national and provincial levels to ensure that:
a) programs designed to deliver concrete benefits to Papuans and build trust are not inadvertently undercut by decisions or actions taken in home affairs or by intelligence and security agencies;
b) a more unified security reporting mechanism is created under the Papuan regional police commander to ensure that elements of the military and intelligence apparatus do not undertake operations that report only to Jakarta and are not coordinated with other relevant authorities in Papua.
c) strict oversight of programs is not restricted to the development sphere but encompasses security policy, including examination of income-generating programs of the security forces; and
d) Papuan perspectives are included, either by participation of elected governors or the head of the MRP.
To the Indonesian National Police:
2. Improve dissemination of and training in Police Regulation N°8/2009 on Implementation of Human Rights Standards and Principles in Carrying Out Police Tasks, with particular attention to:
a) Article 10(e) prohibiting any form of torture and inhumane or humiliating treatment, even in the face of an order from a superior or extraordinary circumstances;
b) Article 10(f) guaranteeing the health of those in custody and providing medical care as needed;
c) Article 10(g) prohibiting corruption and abuse of authority;
d) Article 17 on procedures for arrest;
e) Article 40 prohibiting police from acting in a way that generates antipathy in the community, including by asking for unauthorised fees and covering up mistakes;
f) Articles 42-44 on protecting human rights in a situation of mass unrest; and
g) Articles 45-49 on use of firearms, particularly the provision that non-violent methods should always be used first and firearms should only be used in a way that is proportional to the threat faced.
3. Review policy on use of live ammunition with a view to restricting its use to specific situations and ensuring an adequate supply of non-lethal equipment for handling civil unrest.
4. Ensure that police are fully equipped with protective body equipment when assigned to insecure areas or when facing civil unrest so as to reduce the incentive to shoot first.
5. Reassess training needs, to ensure that anyone posted to a particular kabupaten (district) in Papua receives a thorough and detailed briefing from those who have served in the area about local conditions, conflict dynamics and relations with local government and community leaders, and that anyone finishing a tour of duty undergoes an equally thorough debriefing so that knowledge and lessons learned can be institutionalised.
6. Redesign allowances and incentive structures so that police are rewarded rather than penalised for taking posts in isolated and difficult areas and encouraged to build stronger links with local communities.
To the Indonesian National Army and the Indonesian National Police:
7. Make a clear commitment to ending impunity for inappropriate use of force and torture and to enforcing more credible sanctions against individuals responsible for such behaviour in a visible and public manner so that Papuans can see that justice is being done.
8. Ensure in particular that there is a policy – rigorously implemented – of zero tolerance that begins in police and military academies for kicking, beating with any instrument including rifle butts or other forms of physical violence in the course of detention, interrogation or on-the-spot punishment for alleged offences.
9. Make clear that “emotion” can never be used to justify excessive use of force, especially in reacting to attacks by Papuan groups.
10. Provide more systematic oversight and scrutiny of income and expenditures in district and sub-district-level commands, particularly in those close to mining sites, with a view to ending illegal levies on the transport of goods and services.
To the Unit for Accelerated Development in Papua and West Papua (UP4B):
11. Work with the provincial and district-level governments in Papua as well as ministries at national level to identify gaps in implementation of special autonomy legislation and develop strategies for addressing them.
To the National Elections Commission (KPU):
12. In light of the Constitutional Court’s upholding of the practice of voting by acclamation (using the noken system), work with the provincial-level elections commission (KPUD Papua) to develop clear guidelines that will ensure tabulating these votes includes at least minimum standards against electoral fraud and conduct increased voter education efforts accordingly.
To Papuan Provincial Legislators and the Elected Governor (when one is in place):
13. Give top priority to enacting the some two dozen regulations necessary to ensure that special autonomy is fully implemented.
Jakarta/Brussels, 9 August 2012
The continuing infatuation with Papua
ReplyDeleteSri Lestari Wahyuningroem, Canberra | Opinion |
Nowadays many of us non-Papuan Indonesians do not hesitate to express how we “love” Papua, especially since we are disturbed by more and more international exposure of the situation in Indonesia’s easternmost province.
United Nations high commissioner of human rights Navi Pillay’s recent statement on the serious crackdown on peaceful demonstrations across Papua, the opening of a West Papua Organization office
in Oxford, the Sydney Morning Herald’s investigation into the removal and Islamic reeducation of Papuan youth and children, and the Melanesian Spearhead Group’s consideration of West Papua’s request for membership, are examples of such exposure.
However, not all Indonesians love Papua.
Torture and extrajudicial killings against Papuan civilians, Papuans being detained as political prisoners for exercising their freedom of expression, starvation in remote areas that has killed many locals, or dozens of mining workers trapped and dying at mining site of a powerful gold mining company, seem to be “normal” events in Papua, so many Indonesians do not find it necessary to show sympathy and solidarity with their fellow Papuans. Fewer Indonesians feel the need to raise their concerns and immediately push for any solution to the ongoing violence in Papua.
Papua and Papuans are seen as two separate entities. Papua refers to a geographic area, one third of which for decades, has been part of Indonesia. It is perceived as a place with enchanting panoramic views, inhabited by people with distinct cultures and rituals and blessed with rich natural resources.
Contrary to that, in the eyes of many of Indonesians, Papuans are seen as the dark side of Indonesia. The region terrorizes us with images of cruelty, rebellion, ungratefulness and an inability to modernize. It turns our love into unease and suspicion, which often leads to rage and hate.
adu kapan akan berakhir ini untuk penyiksaan kami,,,
ReplyDelete