Friday, February 17, 2012
Cautious Calm in Ambon (Tenang Tapi Waspada di Ambon) Indonesian version also here
Asia Briefing N°133 13 Feb 2012
Indonesia: Cautious Calm in Ambon
Asia Briefing N°133 13 Feb 2012
OVERVIEW
Months after an outbreak of Christian-Muslim violence in Ambon, the city seems quiet. Local authorities learned some lessons from the clashes on 11 September 2011, sparked by the death of a Muslim motorcycle taxi (ojek) driver in a Christian area. Security forces, for example, have been quicker to arrive on the scene in fights that break out along religious lines. While not all those displaced have returned home, some innovative efforts have been initiated to use reconstruction to foster reconciliation. The government is much more conscious of the need to work with the telephone company to get mass text messages out when trouble occurs. Many issues remain unresolved, however, including physical segregation and mutual distrust between Christian and Muslim communities, inadequate police capacity and lack of transparency in investigations into high-profile incidents. Ambon is hosting a national Quran reading contest (Musabaqah Tilawatil Quran, MTQ) in mid-June, and local authorities see it as an opportunity to showcase the city as a model of harmonious relations and a desirable place to invest. Christian and Muslim leaders alike want the contest to succeed as a matter of local pride, and its starting date has become an informal deadline by which all physical reminders of the September violence are to be removed.
Another eruption of violence in mid-December, this time triggered by the unexplained death of a Christian public transport driver, was evidence of ongoing tensions. The city remains segregated, mutual suspicions run high and violence frequently flares from the most trivial of causes. Basic flaws in policing have not been fixed, and the absence of any serious investigations into high-profile incidents keeps the communities polarised and gives rise to conspiracy theories. When investigations do take place, as happened after the death of the motorcycle driver that triggered the September violence, the results are not made public, leading to allegations of cover-ups. Radical elements are active in Ambon, and their tendentious websites suggest a deliberate effort to fan communal flames.
Everyone interviewed could point to possible flashpoints ahead: elections for Central Maluku district head on 27 March 2012; the anniversary of the defunct independence movement, Republic of the South Moluccas (Republik Maluku Selatan, RMS) on 25 April; and the MTQ from 9 to 19 June. But as Ambon’s bishop said in an interview in January, “I’m not worried about the big days. The danger is on the ordinary days when no one’s paying attention”.
Jakarta/Brussels, 13 February 2012
Ringkasan Ikhtisar
Beberapa bulan setelah kerusuhan antara komunitas Kristen dan Muslim yang terjadi di Ambon, kota Ambon kelihatan tenang. Pejabat setempat belajar dari peristiwa bentrokan 11 September 2011, yang dipicu oleh kematian seorang tukang ojek Muslim di wilayah Kristen. Pasukan keamanan contohnya, sudah lebih cepat tiba di lokasi kejadian tawuran terkait SARA. Dan meskipun belum semua pengungsi bisa pulang ke rumah mereka masing-masing, sejumlah upaya inovatif sudah dirintis dengan menggunakan rekonstruksi untuk mendorong proses rekonsiliasi. Pemerintah juga lebih sadar pentingnya bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan telekomunikasi untuk mengirim sms masal ke masyarakat ketika ada kerusuhan.
Namun begitu, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, termasuk segregasi fisik dan rasa saling tidak percaya antara komunitas Kristen dan Muslim, kurang memadainya kapasitas polisi, dan kurangnya transparansi dalam investigasi terhadap insiden-insiden yang mendapat banyak sorotan.
Ambon akan menjadi tuan rumah perhelatan akbar Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional pertengahan Juni nanti, dan para pejabat setempat melihat event ini sebagai kesempatan untuk memperlihatkan kota Ambon sebagai sebuah kota yang penduduknya hidup secara harmonis dan menjadi tempat investasi yang menarik. Para pemimpin Kristen dan Muslim ingin MTQ berjalan dengan sukses dan menjadi kebanggaan seluruh rakyat maluku, dan tanggal pelaksanaan MTQ secara tidak resmi telah menjadi tenggat waktu dimana semua sisa-sisa kerusuhan September harus sudah bersih dari Ambon.
Sebuah kekerasan lain yang pecah di pertengahan Desember lalu, kali ini dipicu oleh kematian seorang supir angkot Kristen, adalah bukti ketegangan yang masih berlangsung. Kota Ambon masih tersegregasi dan kekerasan sering terjadi bahkan dengan penyebab sepele sekalipun. Kelemahan mendasar polisi masih belum dibenahi, dan tidak dilakukannya investigasi serius terhadap insiden-insiden yang mendapat banyak sorotan membuat masyarakat terpolarisasi dan mendorong teori-teori konspirasi. Dan ketika investigasi dilakukan, seperti yang terjadi setelah kematian tukang ojek yang memicu kerusuhan September, hasilnya tidak diumumkan ke publik, sehingga membuat masyarakat menuduh ada yang ingin ditutup-tutupi. Unsur-unsur radikal cukup aktif di Ambon, dan situs mereka yang tendensius seolah-olah dengan sengaja berupaya untuk mengipas-kipasi konflik.
Setiap orang yang diwawancarai menyebutkan sejumlah titik rawan kedepan, antara lain: pemilihan bupati Maluku Tengah tanggal 27 Maret 2012; hari ulang tahun RMS 25 April; dan pelaksanaan MTQ dari tanggal 9 hingga 19 Juni. Namun seperti yang diucapkan oleh Uskup Ambon dalam sebuah wawancara di bulan Januari,”Saya tidak khawatir mengenai hari-hari besar. Yang justru berbahaya adalah hari-hari biasa ketika tidak ada orang yang menaruh perhatian.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment